Beranda > Ekonomi Islam > Perilaku Konsumen Muslim

Perilaku Konsumen Muslim

Disadur dari www.pkesinteraktif.com

Mempelajari ekonomi berarti mempelajari segala hal yang menyangkut kehidupan rumah tangga. Hakikat hidup memang memiliki banyak filosofi yang berbeda-beda. Hidup boleh diartikan sebagai kemampuan manusia untuk bertahan atas setiap kondisi di berbagai situasi. Disini, strategi mempertahankan hidup yaitu bagaimana manusia menyikapi harta. Penyikapan manusia pada harta menjadi karakteristik ekonomi Islam. Dalam surat An-Nisa: 5 Allah SWT berfirman:  “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan…”

Dalam bukunya Ali Sakti “Analisis Teoritis Ekonomi Islam” halaman 108 dituliskan bahwa ada empat prinsip utama dalam sistem ekonomi islam yang diisyaratkan dalam Al-Quran:

Hidup hemat dan tidak bermewah-mewahan. Ini berarti tindakan ekonomi hanyalah untuk memenuhi kebutuhan (needs) bukan keinginan (wants).

  1. Implementasi zakat, infak, dan shodaqoh.
  2. Pelarangan riba; menjadikan sistem bagi hasil dengan instrumen mudharabah dan musyarakah sebagai sistem kredit dan instrumen bunganya.
  3. Menjalankan usaha-usaha yang halal; dari produk atau komoditi, proses produksi hingga distribusi.

Jika kita bertafakur atas diri dan lingkungan kita, perlu kita sadari bahwa segala sesuatu di dunia ini adalah milik Allah, semuanya titipan, amanah, dimana setiap barang titipan atau amanah yang dipercayakan harus dikembalikan seutuh-utuhnya kepada sang Owner, Allah SWT. Amanah itu adalah harta. Harta yang harus disikapi dengan tepat, efektif, dan efisien. Konsep harta dalam ekonomi Islam adalah sesuatu yang terus menerus mengalir dan bermanfaat banyak, sedangkan dalam pandangan konvensional harta adalah sebagai hak milik pribadi yang pemiliknya bebas menggunakan harta itu untuk kepentingan dirinya.

Ternyata, akar dari perilaku ekonomi Islam adalah iman. Karena dengan keimanan akan menentukan baik buruknya tindakan ekonomi, tindakan menyikapi harta. Memang, sebagai seorang muslim yang senantiasa melakukan tindakan ekonomi akan selalu dihadapkan pada masalah tauhid, keimanan. Seberapa baikkah keimanan kita? Mampukah kita berkonsumsi atau berproduksi dengan tujuan maslahah, berdasarkan kebutuhan, dan tuntutan kewajiban? Atau ada sikap egois, materialis, dan individualis yang memengaruhi tindakan ekonomi kita?

Aktivitas ekonomi pada dasarnya berawal dari kebutuhan manusia untuk terus bertahan (survive) di dunia ini. Ketika kebutuhan hidup tidak bisa dipenuhi sendiri, maka diperlukan orang lain untuk membantu; disinilah perlunya bersosialisasi. Interaksi sosial ini akan melahirkan permintaan dan penawaran terhadap konsumsi dan produksi. Teori Maslow menyebutkan, “Keperluan hidup berawal dari pemenuhan keperluan hidup dasar, kemudian pemenuhan keperluan hidup yang lebih tinggi kualitasnya seperti keamanan, kenyamanan, dan aktualisasi”.

Motif berkonsumsi dalam Islam seperti yang telah disebutkan sebelumnya adalah maslahah, kebutuhan, dan kewajiban. Yusuf Qardhawi, dalam “Peran Nilai dan Moral dalam Perspektif Ekonomi Islam” menyebutkan beberapa variabel moral dalam berkonsumsi, diantaranya: Konsumsi atas alasan dan pada barang-barang yang baik (halal), berhemat, tidak bermewah-mewah, menjauhi hutang, menjauhi kebakhilan dan kekikiran. Jadi, bisa disimpulkan bahwa aktivitas konsumsi adalah aktiviatas ekonomi manusia yang bertujuan meningkatkan ibadah kepada Allah SWT.

Dalam buku “Konsep Ekonomi Islam, Suatu Pengantar” karya Hery Sudarsono, seorang muslim dalam berkonsumsi didasarkan atas beberapa pertimbangan:

1. Manusia tidak kuasa sepenuhnya mengatur detil permasalahan ekonomi masyarakat. Keberlangsungan hidup manusia diatur oleh Allah. “Pernahkah memperhatikan air yang kamu minum?” “kamukah yang menurunkannya dari awan, atau Kami kah?”(QS. Al-Waqiah: 68-69)

2. Dalam konsep islam, kebutuhanlah yang membentuk pola konsumsi seorang muslim. Pola konsumsi yang didasarkan atas kebutuhan akan menghindari pola konsumsi yang tidak perlu. ”Dan jangan sekali-kali orang-orang yang kikir dengan apa yang diberikan Allah kepada mereka dari karunia-Nya… milik Allah lah warisan (apa yang ada) di langit dan di bumi….” (QS. Al-Imran: 180)

3. Dalam berkonsumsi, seorang muslim harus menyadari bahwa ia menjadi bagian dari masyarakat, sehingga timbul rasa saling menghargai dan menghormati dan tercipta keadilan sosial untuk menghindari kesenjangan atau diskriminasi sosial. “Wahai oarang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil….” (QS. An-Nisa: 29)

Selain itu, tingkat kepuasan seorang muslim dalam berkonsumsi perlu mempertimbangkan kehalalan barang yang dikonsumsi, tanpa riba, serta mempertimbangkan zakat dan infak. Kepuasan muslim tidak hanya didasarkan atas banyak sedikitnya barang yang dikonsumsi, tetapi juga besar nilai ibadah yang didapat, kemudian terciptanya kepuasan dan rasa syukur. Oleh karena itu, kepuasan adalah relatif dan tidak mudah diukur karena banyak faktor lain yang mesti dipertimbangkan. Diantaranya adalah faktor budget yang dimiliki untuk digunakan konsumsi. Konsumen muslim juga harus memiliki skala prioritas agar bisa memperoleh pemanfaatan yang optimum.

Sudah jelas bagi kita, konsumen muslim, bertindak atas harta yang Allah berikan dengan cara yang baik, sehingga berdampak kepada tingkat kepuasan, baik kepuasan dunia maupun akhirat. Semoga kita semua sebagai umat muslim dapat menerapkan perilaku ekonomi yang telah ditentukan oleh Islam. Amin.

  1. Juni 20, 2010 pukul 6:33 am

    apa hukum investasi dalam islam?
    “Pelarangan riba; menjadikan sistem bagi hasil dengan instrumen mudharabah dan musyarakah sebagai sistem kredit dan instrumen bunganya.”ni maksudnya apa ya?mudharabah dan musyarakah itu apa?

    • Juni 21, 2010 pukul 8:37 am

      Hukum investas dalam islam : dibolehkan…asal tidak menginvestasi pada hal2 yang dilarang, misalnya: membangun tempat perjudian, minuman keras, ganja atau sebagainya.

      Mudharabah : bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak di mana pemilik modal (shahibul amal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian di awal.

      Musyarakah : bentuk umum dari usaha bagi hasil dimana dua orang atau lebih menyumbangkan pembiayaan dan manajemen usaha, dengan proporsi bisa sama atau tidak. Transaksi Musyarakah dilandasi adanya keinginan para pihak yang bekerja sama untuk meningkatkan nilai asset yang mereka miliki secara bersama-sama dengan memadukan seluruh sumber daya.

      demikian..
      Terimakasih atas kunjungannya…Wassalam

  1. No trackbacks yet.

Tinggalkan komentar